Next Post

Titik Panas Meluas, BMKG Imbau Masyarakat Waspada Karhutla

16072019-Ilustrasi Angin Kencang BMKG

CIREBON

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengimbau dan meminta masyarakat mewaspadai sebaran titik panas guna menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Berdasarkan hasil pemantauan selama dua minggu terakhir (25 Juli-5 Agustus 2019) sedikitnya BMKG mengidentifikasi terdapat 18.895 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Nugini. 

Deputi Meteorologi BMKG, Prabowo mengungkapkan, informasi titik panas tersebut dianalisis oleh BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (LAPAN) dan Satelit Himawari (JMA Jepang). Peningkatan jumlah titik panas ini, menurutnya diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar. 

“Kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar,” katanya, Rabu (7/8/2019).

Oleh karena itu, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),  BNPB, Pemerintah Daerah (BPBD), instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih. 

“Pada musim kemarau, pola angin dominan berasal dari arah Tenggara, hal ini mendorong arah penyebaran (trayektori) asap melintasi perbatasan wilayah Indonesia (transboundary haze). Kondisi tersebut telah diantisipasi dalam bentuk informasi peringatan dini berupa monitoring sebaran asap dan prediksi zona kemudahan terbakar, dengan  menggunakan Fire Danger Rating System (FDRS) sampai 7 hari ke depan,” ungkapnya.

Prabowo menerangkan, saat ini sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa wilayah di ASEAN sedang mengalami musim kemarau (monsun Australia) dimana pola angin secara umum berasal dari arah Tenggara yang bersifat kering.

Selain itu, kondisi musim saat ini juga dipengaruhi oleh kondisi anomali suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang negatif khususnya di selatan ekuator, El Nino dengan intensitas lemah yg berlangsung dari akhir 2018 saat ini menuju kondisi netral, serta Indian Ocean Dipole Mode yang saat ini bernilai positif. Hal ini mengakibatkan musim kemarau tahun ini lebih kering dari tahun 2018, dan kondisi lahan khususnya gambut secara potensi menjadi mudah terbakar.

“Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang dapat berkembang menjadi kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara. Untuk itu diperlukan kewaspadaan dan langkah antisipatif untuk meminimalisir dampak,” pungkasnya. (Juan)

 

indramayujeh

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

762ba2bf06f1b06afe05db59024a6990

Recent News