Next Post

Nelayan Indramayu: “Kami Rindu Ibu Susi..”

IMG-20200719-WA0009

“KAMI rindu ibu Susi…”. Kalimat pendek ini meluncur penuh haru dari sejumlah nelayan di Kabupaten Indramayu. Kerinduan terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti cukup beralasan bagi para nelayan. Sebab mereka merasa benar-benar dilindungi oleh Susi ketika menjabat sebagai menteri era Jokowi di periode pertama. Saat itu nelayan dan para pemilik perahu di seluruh Indonesia, tak terkecuali Indramayu, betul-betul menjadi tuan rumah bagi laut mereka. Sikap tegas Susi yang kemudian membumi dengan slogan “tenggelamkan”, menjadi bukti betapa Susi mengerti betul persoalan yang dihadapi oleh seluruh pelaku usaha perikanan.

Tetapi sekarang keadaan berbalik. Kondisi pengusaha tangkapan ikan dan nelayan justru tidak lebih baik. Carut marutnya regulasi soal industri perikanan serta inkonsistensi kebijakan para pembuat keputusan strategis di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menambah semakin terjungkalnya pendapatan sektor perikanan masyarakat. Mudah ditebak, selain menyebabkan turunnya produksi ikan laut dipastikan ekonomi pelaku usaha perikanan semakin melemah. Ini bahaya bagi perekonomian nasional pada bidang perikanan.

Polemik mengenai regulasi industri perikanan sejatinya sudah menjadi penyakit kambuhan. Sejak era Presiden Suharto pada tahun 80-an, muncul kisruh mengenai penggunaan cantrang dan jaring trawl. Banyak beda pendapat soal boleh tidaknya trawl digunakan sebagai alat tangkap ikan. Sehingga Suharto kemudian mengeluarkan Perpres nomor 39 tahun 1980 tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan yang membahayakan ekosistem laut tersebut.

Pada era menteri Susi Pudjiastuti juga dibuat regulasi yang sama yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2 / Permen-KP / 2015 tentang “Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia”. Peraturan itu muncul sebagai usaha untuk mendorong penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Langkah Susi lalu diikutinya dengan upaya hukum melalui penangkapan kapal-kapal berbendera asing yang beroperasi di perairan laut Indonesia. Perintah “tenggelamkan” menjadi godam ampuh untuk menghalau praktik illegal fishing .

Sejalan dengan peraturan yang dibuat Susi, hasil kajian WWF-Indonesia juga menyebutkan hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan jaring trawl yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi. Sedangkan, sebanyak 60-82% adalah tangkapan sampingan.

Namun sekarang di masa KKP dipimpin Edhy Prabowo justru ada semacam “kelonggaran” yang sengaja dibuat oleh pemangku kepentingan. Munculnya sejumlah regulasi yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Perikanan Tangkap menjadi bukti betapa tumpang tindihnya aturan di industri perikanan nasional. Kondisi ini tentu menimbulkan spekulasi negatif dimana para pelaku usaha perikanan yang dirugikan menganggap telah terjadi persekongkolan.

Petaka bagi nelayan dan pemilik perahu pun akhirnya terjadi. Luasnya daerah tangkapan ikan tidak serta merta membuahkan hasil yang manis. Sejumlah perairan yang selama ini menjadi primadona bagi nelayan tradisional kini berubah menjadi belantara perburuan ikan bagi kapal-kapal besar dengan “alat tangkap haram” berupa pukat harimau atau jaring trawl. Ironis, keadaan ini terus dibiarkan bertahun-tahun sehingga muncul keresahan yang hebat bagi pelaku usaha ikan tangkap .

Mengutip pernyataan Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan Kecil Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, Asep Suryana, kepada “Antaranewsjabar”, produksi tangkapan ikan dari tahun ke tahun terus menurun. Pada tahun 2017 tangkapan ikan nelayan Indramayu mencapai 35 ribu ton. Namun pada tahun berikutnya hanya mampu sekira 26 ribu ton ikan saja. Salah seorang yang merasakan dampak akibat buruknya regulasi KKP diantaranya H Maman Suparman Yahya. Pengusaha sekaligus pemilik perahu ini dalam beberapa kesempatan telah meminta pemerintah agar lebih tegas dalam penindakan dan pelarangan penggunaan jaring trawl di perairan laut Indonesia. Alasannya tentu saja sama yakni dampak buruk terhadap ekosistem dan biota laut yang selama ini telah menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir terutama nelayan tradisional Indonesia.

Entah sampai kapan masalah yang dihadapi para pelaku usaha perikanan ini berakhir. Sebab sampai saat ini jerit dan teriak para nelayan sama sekali tidak di dengar oleh “Jakarta”. Laut tidak lagi bisa memberikan kehidupan berarti bagi nelayan tradisional Indonesia sebab status mereka kini hanya sebagai “penonton” ketidakberesan tata kelola ikan tangkap. Para petinggi negeri yang berurusan dengan nasib pemilik perahu dan nelayan tradisional seolah lupa pada ruh bangsa ini yang sejak lama diklaim sebagai bangsa pelaut. Penggalan lagu “nenek moyangku seorang pelaut.. “ pun mungkin kini ibarat kaset berisi pita kusut.****

Hendra Sumiarsa

(Pemerhati Masalah Sosial di Indramayu)

 

indramayujeh

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

762ba2bf06f1b06afe05db59024a6990

Recent News