Next Post

Koalisi Kuningan Bersatu Diprediksi Cuma Seumur Jagung

Ilustrasi. (Indramayujeh)
Ilustrasi. (Indramayujeh)

 

KUNINGAN –

Terbentuknya Koalisi Kuningan Bersatu dengan enam Parpol didalamnya yaitu Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, PPP dan PBB diperkirakan hanya seumur jagung. Sifat politik yang fleksibel dan sangat dinamis serta merupakan sebuah alat dalam merengkuh kekuasaan jadi alasan.

“Adanya Koalisi Kuningan Bersatu yang didalamnya terdapat tokoh sentral partai Gerindra yaitu Dede Ismail, saya perkirakan hanya panas di awal saja. Bahkan pasca ada penetapan unsur AKD, koalisi akan melempem pada waktunya,” sindir Wakil Ketua Sarjana Urang Kuningan (Sarukun), Anggi Alamsyah saat memberikan keterangan persnya, Senin (7/10).

Mantan Pengurus GMNI itu menilai, sekalipun visi yang diusung enam parpol itu cukup bagus dengan mengatasnamakan rakyat, namun sejarah mencatat bahwa semua koalisi yang dimotori salah seorang elit partai Gerindra Kuningan itu tidak akan pernah bertahan lama. Setelah tujuan politiknya tercapai, maka kendaraan yang disebut koalisi dan sebagainya akan segera ditinggalkan, jika ada peluang untuk mendapat posisi strategis yang baru.

“Saya tidak menyalahkan bahwa itu adalah bagian dari strategi dan capaian politik dari seorang politisi. Namun dengan memainkan skema yang selalu sama dan berulang, bahkan selalu berhasil hingga tercetus kembali koalisi-koalisi baru,” ujarnya.

Dia mencontohkan, pada periode 2014-2019 atas kekalahan Prabowo pertama melawan Jokowi, maka terbentuklah Koalisi Merah Putih (KMP). Namun dengan segala alasan, tiba-tiba Gerindra di Kuningan memilih lebih berkolaborasi dengan PDIP yang notabene adalah pendukung Jokowi.

“Lalu ada lagi koalisi antara Gerindra dan PKS, disambung dengan Koalisi Umat yang juga ada sosok elit Partai Gerindra itu didalamnya pasca Pilkada. Kita tahu, yang akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan koalisi tersebut siapa,” tanya Anggi heran.

Hingga akhirnya, Ia menyimpulkan, bahwa dalam politik itu tidak pernah ada yang langgeng. Sebab selalu ada yang memilih menjadi kharakter antagonis, meninggalkan koalisi demi mendapat sesuatu yang baru dan lebih bermanfaat.

“Ya, inilah dogma pragmatik dan opportunistik yang kerap ditanam oleh para politisi hari ini. Jadi, meski setiap awal koalisi terbentuk selalu berbicara ideal, kami ingin menjadi penyeimbang, bukan tukang stempel, menjadi oposisi, namun saya lihat di Kuningan tidak ada yang pernah kuat memegang kata-kata itu hingga akhir,” pungkasnya. (Andri)

 

 

indramayujeh

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Newsletter

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.

762ba2bf06f1b06afe05db59024a6990

Recent News